Senin, 25 Mei 2009

DPRD Sumut Tetapkan 7 Anggota KPID Sumut 2008-2011 Lewat Voting

Redaksi SIB on Oktober 23rd, 2008

Medan (SIB)
Komisi A DPRD Sumut tetapkan 7 nama anggota KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) Sumatera Utara periode 2008-2011 lewat voting yang dilaksanakan dalam rapat pleno internal dihadiri 16 anggota komisi A dipimpin Ketua Komisi AM Siregar, Rabu (22/10) di Gedung DPRD Sumut.

Demikian diungkapkan Sekretaris Komisi A DPRD Sumut Drs Penyabar Nakhe kepada wartawan, Rabu (22/10) di ruang kerjanya seusai menghadiri rapat pleno internal Komisi A DPRD Sumut dalam rangka penetapan calon anggota KPID Sumut periode 2008-2011.
Disebutkan Penyabar, dari 17 anggota Komisi A DPRD Sumut, 16 anggota dewan yang hadir dalam rapat pleno internal komisi dalam menetapkan calon anggota KPID Sumut menyepakati mekanisme pemilihan 20 nama calon anggota KPID melalui voting, dimana masing-masing anggota dewan harus memilih 7 nama dari 20 nama calon hasil dari fit and proper test.

Ke-20 nama calon anggota KPID yang dipilih, Abdul Haris Nasution, Achmad Hambali, Akhmad Kadri Pasha Nasution, Ahmad Zaqlul, Eddy Syahputra, Hambali Batubara, Janto, Lusiana Andriani, Mutia Atiqah, Muhammad Syahril, Rudi Hendarto, Ranggini, Rika Suartiningsih, R Bambang Soedjiartono, Safrin, Sufrianty Harahap, Syafri, Sunarto, Usep Kurnia dan Zulkifli.
Dari 16 anggota komisi A yang hadir, lanjut Penyabar Nakhe, berhasil memilih 7 nama calon dari 20 nama yang sudah mengikuti fit and proper test. Selanjutnya diranking berdasarkan suara terbanyak untuk ditetapkan menjadi anggota KPID Sumut.

Penyabar Nakhe menyebutkan, ketujuh anggota KPID Sumut yang ditetapkan Komisi A berdasarkan ranking jumlah suara terbanyak melalui voting masing-masing Abdul Haris Nasution memperoleh 14 suara, Achmad Hambali dan Sufriaty Harahap masing-masing memperoleh 13 suara, Eddy Syahputra dan Ranggini masing-masing memperoleh 12 suara, serta Muhammad Syahril dan Usep Kurnia masing-masing memperoleh 10 suara.

Nakhe juga menyebutkan, dari ketujuh anggota KPID yang ditetapkan hampir seluruhnya wajah-wajah baru dan dinilai cukup punya kredibilitas dan berkemampuan dalam melaksanakan tugas di bidang penyiaran daerah ini. Sedangkan anggota lama (periode 2005-2008) sepertinya tidak terpilih untuk periode 2008-2011, karena memperoleh suara dirangking 8 hanya memperoleh 9 suara atas nama R. Bambang Soedjiartono dan Akhmad Kadri Pasha Nasution memperoleh nol suara.

Karena itu, tambah Nakhe, ketujuh nama anggota KPID yang ditetapkan akan disampaikan kepada Pimpinan DPRD Sumut untuk diproses selanjutnya dan disampaikan ke Gubsu untuk mengeluarkan SK pengangkatan dan pelantikan. (M10/p)

PRD Sumut Tetapkan 7 Anggota KPID Sumut 2008-2011 Lewat Voting

Redaksi SIB on Oktober 23rd, 2008

Medan (SIB)
Komisi A DPRD Sumut tetapkan 7 nama anggota KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) Sumatera Utara periode 2008-2011 lewat voting yang dilaksanakan dalam rapat pleno internal dihadiri 16 anggota komisi A dipimpin Ketua Komisi AM Siregar, Rabu (22/10) di Gedung DPRD Sumut.

Demikian diungkapkan Sekretaris Komisi A DPRD Sumut Drs Penyabar Nakhe kepada wartawan, Rabu (22/10) di ruang kerjanya seusai menghadiri rapat pleno internal Komisi A DPRD Sumut dalam rangka penetapan calon anggota KPID Sumut periode 2008-2011.

Disebutkan Penyabar, dari 17 anggota Komisi A DPRD Sumut, 16 anggota dewan yang hadir dalam rapat pleno internal komisi dalam menetapkan calon anggota KPID Sumut menyepakati mekanisme pemilihan 20 nama calon anggota KPID melalui voting, dimana masing-masing anggota dewan harus memilih 7 nama dari 20 nama calon hasil dari fit and proper test.

Ke-20 nama calon anggota KPID yang dipilih, Abdul Haris Nasution, Achmad Hambali, Akhmad Kadri Pasha Nasution, Ahmad Zaqlul, Eddy Syahputra, Hambali Batubara, Janto, Lusiana Andriani, Mutia Atiqah, Muhammad Syahril, Rudi Hendarto, Ranggini, Rika Suartiningsih, R Bambang Soedjiartono, Safrin, Sufrianty Harahap, Syafri, Sunarto, Usep Kurnia dan Zulkifli.

Dari 16 anggota komisi A yang hadir, lanjut Penyabar Nakhe, berhasil memilih 7 nama calon dari 20 nama yang sudah mengikuti fit and proper test. Selanjutnya diranking berdasarkan suara terbanyak untuk ditetapkan menjadi anggota KPID Sumut.
Penyabar Nakhe menyebutkan, ketujuh anggota KPID Sumut yang ditetapkan Komisi A berdasarkan ranking jumlah suara terbanyak melalui voting masing-masing Abdul Haris Nasution memperoleh 14 suara, Achmad Hambali dan Sufriaty Harahap masing-masing memperoleh 13 suara, Eddy Syahputra dan Ranggini masing-masing memperoleh 12 suara, serta Muhammad Syahril dan Usep Kurnia masing-masing memperoleh 10 suara.

Nakhe juga menyebutkan, dari ketujuh anggota KPID yang ditetapkan hampir seluruhnya wajah-wajah baru dan dinilai cukup punya kredibilitas dan berkemampuan dalam melaksanakan tugas di bidang penyiaran daerah ini. Sedangkan anggota lama (periode 2005-2008) sepertinya tidak terpilih untuk periode 2008-2011, karena memperoleh suara dirangking 8 hanya memperoleh 9 suara atas nama R. Bambang Soedjiartono dan Akhmad Kadri Pasha Nasution memperoleh nol suara.

Karena itu, tambah Nakhe, ketujuh nama anggota KPID yang ditetapkan akan disampaikan kepada Pimpinan DPRD Sumut untuk diproses selanjutnya dan disampaikan ke Gubsu untuk mengeluarkan SK pengangkatan dan pelantikan. (M10/p)

Sabtu, 23 Mei 2009

Kiat Menghidupi Kampus

Subsidi pendidikan pemerintah terlalu pas-pasan, sehingga kampus
negeri mencari tambahan dana dengan membuka kelas sore. Hasilnya cukup
untuk menyambung hidup.

--------------------------------------------------------------------------------
DI banyak negara, pos anggaran untuk pendidikan bisa mencapai 10
persen dari total anggaran pemerintah. Tapi di Indonesia, bahkan
ketika ekonomi masih normal, anggaran pendidikan tak sampai 2,5
persen, atau sekitar Rp 5,5 triliun, dari anggaran pendapatan dan
belanja negara.
Padahal, jatah anggaran itu mesti dibagi-bagikan kepada sekitar 500
ribu sekolah dan 51 perguruan tinggi negeri. Jumlah yang terbatas itu
dipakai untuk pembayaran gaji guru dan dosen, pemeliharaan bangunan,
pembangunan kelas-kelas baru, serta untuk biaya operasi harian,
seperti pengadaan kertas kerja atau bahan praktikum.

Dalam pada itu, biaya pengelolaan perguruan tinggi negeri, misalnya,
semakin lama semakin besar. Sebaliknya, subsidi anggaran dari
pemerintah semakin tak mencukupi kebutuhan.

Itu sebabnya pemerintah memperkenankan para pengelola kampus negeri
untuk menyelenggarakan program pendidikan di luar program reguler.
Program ekstra itu bisa berupa kelas ekstensi (sore), baik untuk
program diploma-3 (D-3), strata-1 (S-1, sarjana), maupun strata-2
(S-2, master).

Bagai gayung bersambut, keran otonomi anggaran itu langsung
dimanfaatkan kampus negeri. Universitas Indonesia (UI), contohnya,
merintis bisnis dengan membuka berbagai kelas sore. Untuk program D-3
saja, fakultas sastra serta fakultas ilmu sosial dan ilmu politik
(FISIP) telah melahirkan 16 program studi.

Lantas, untuk program S-1, UI membukanya di fakultas teknik, hukum,
ekonomi, psikologi, dan FISIP. Masih ada lagi program S-2 berupa
spesialisasi ilmu kedokteran dan ilmu hukum, plus magister manajemen
(MM), yang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP)-nya sekitar Rp 30
juta.

Dari situlah UI bisa menutup dana sebesar Rp 49,9 miliar dari total
pengeluarannya yang Rp 105,8 miliar setahun. Untuk menutupi sisa
biaya, tentu saja UI masih mengharapkan subsidi pemerintah.

Langkah serupa dilakoni Institut Pertanian Bogor (IPB). Program D-3,
belakangan juga program MM, diakui oleh Pembantu Rektor II IPB Dr.
Bunasor Sanim sebagai tambang uang bagi universitas negeri yang
berusia lanjut itu.

IPB bahkan juga mengepakkan sayap bisnis di luar pendidikan, seperti
usaha warung telekomunikasi, fotokopi, percetakan, serta usaha jasa
konsultasi peternakan dan pertanian.

Di luar itu, masih ada lagi bisnis kerja sama IPB dengan pihak swasta.
Pertama, proyek agrobisnis perkebunan mangga senilai Rp 78 miliar
bersama Grup Bakrie. Kedua, kerja sama dengan perusahaan properti
untuk memanfaatkan lahan tak produktif di Rancamaya, Bogor.

Dari bisnis itu, IPB mencetak pemasukan Rp 26,1 miliar. Bagi
pemerintah, angka itu cukup lumayan. Sebab, dengan total pengeluaran
IPB sebesar Rp 51 miliar, subsidi pemerintah tinggal Rp 24,9 miliar.

Institut Teknologi Bandung (ITB) malah bisa menutup sekitar Rp 80
miliar dari total pengeluarannya tahun lalu, yang mencapai Rp 105
miliar. Pemasukan itu diperoleh ITB dari uang pendidikan D-3 sampai
MM, plus bisnis lain seperti penjualan hasil penelitian.

Di Yogyakarta dan Medan, kampus negeri juga mengupayakan kiat serupa.
Sementara Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogya menempuh bisnis di
jalur pendidikan, Universitas Sumatra Utara (USU) di Medan menggarap
bisnis perkebunan.

Memang, total dana dari aneka bisnis tadi masih belum mungkin menutupi
total pengeluaran kampus. Lagi pula perguruan tinggi negeri tak
mungkin bebas dari subsidi pemerintah. Urusan gaji pegawai dan dosen,
umpamanya, seperti dikatakan Rektor UGM Prof. Ichlasul Amal, tetap
menjadi tanggung jawab pemerintah.

Persoalannya tinggal lagi manajemen bisnis pendidikan nonreguler.
Jangan sampai terjadi "perburuan" dana sebesar-besarnya, sementara
mutu dan manajemen pendidikannya telantar. Sebab, selama ini, gelar
dan logo kampus negeri bukanlah barang asal-asalan alias tidak untuk
diperjualbelikan.

Ma’ruf Samudra, Dewi Rina Cahyani (Jakarta), dan Bambang Soedjiartono
(Medan)


Sumber: Tempo On-Line

Dominasi Jakarta Ancam Eksistensi TV Lokal

Senin, 12 Mei 2008 @ 14:33 WIB

Eksistensi TV lokal masih terseok-seok. Belum memadainya sumberdaya manusia, kecukupan teknis infrastruktur, hingga struktur industri televisi yang memusat di Jakarta dinilai sebagai akar masalah yang belum terurai sampai saat ini. Alih-alih mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial yang maksimal dari industri penyiaran televisi, daerah dan masyarakatnya malah didera ancaman hanya menjadi koloni dari modal Jakarta. Kesimpulan kritis ini terangkum dalam Dialog Publik ”Prospek TV Daerah di Tengah Dominasi TV Jakarta” di Medan, Sumatera Utara (12/5), kerjasama antara KPI Pusat dan KPID Sumatera Utara.

”Salah satunya muncul dalam wujud penetrasi budaya Jakarta, seperti penggunaan bahasa, karena siaran televisi saat ini lebih banyak memuat siaran TV Jakarta,” terang anggota KPI Pusat Izzul Muslimin yang menjadi salah satu narasumber acara tersebut.

Istilah TV Jakarta ini, menurut Izzul dapat diberikan kepada lembaga penyiaran televisi yang saat ini masih bersiaran secara nasional. ”Padahal, sebenarnya mereka adalah TV Jakarta karena menurut UU Penyiaran 2002 sudah tidak ada lagi istilah TV Nasional. Yang ada adalah TV-TV Lokal yang dapat bersiaran dengan sistem berjaringan,” tegas Izzul yang membidangi bidang struktur dan sistem penyiaran di KPI Pusat.

Mengomentari penundaan pemerintah terhadap pemberlakuan Sistem Stasiun Berjaringan (SSB) sampai dengan akhir tahun 2009 yang berarti dilakukan seusai Pemilu, Izzul berharap semua pihak pemangku tanggungjawab nantinya dapat bersikap konsisten menegakkan aturan SSB ini. ”Kita berharap ada konsistensi dari siapapun yang akan terpilih sebagai presiden, DPR, ataupun menteri (Menkominfo),” harap Izzul.

Kehawatiran serupa juga disampaikan oleh narasumber-narasumber lainnya, yaitu Wakil Ketua KPID Sumut Bambang Soedjiartono, Agung Darmajaya dari televisi anak Space Toon, dan J. Anto dari KIPPAS (Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatra.

J. Anto, misalnya, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap eksistensi salah satu TV lokal di Sumatera Utara yang megap-megap. ”Mereka susah mencari iklan. Akhirnya, ironisnya, spot iklan mereka dijual sama nilainya dengan iklan di radio,” ungkap salah satu pendiri yayasan yang eksis sejak tahun 1999 ini.

Akibatnya, lanjut J. Anto, sangat mungkin TV lokal ini nantinya tumbuh hanya sebagai koloni dari modal Jakarta atau hanya menjadi perpanjangan tangan dari Jakarta. ”Ini bisa berwujud sebagai koloni budaya, selera, maupun cara berpikir,” tambahnya.

Agung Darmajaya dari televisi anak Space Toon juga turut menyoroti pemasukan iklan yang lari ke Jakarta, padahal dari Medan saja bisa terhitung sekitar 1,2 triliun. ”Pemasukan untuk daerahnya mana?,” tanya Agung.

Persoalan konten lokal yang masih minim juga menjadi sorotan dalam acara ini. Selain karena masalah struktur dominasi dari Jakarta, kapasitas sumberdaya manusia di Sumatera Utara juga harus ditingkatkan.

Acara di acara Space Toon, terang Agung, meski belum banyak saat ini juga ada konten lokal yang dikemas dalam program kartun. ”Baik isi maupun pembuatnya asli dari lokal Medan,” tutur Agung.

”Butuh kreativitas, seperti JTV di Jawa Timur yang melakukan dubbing acara film ke dalam bahasa Jawa Timuran,” tambahnya.

Bloggaul.com

Banyak Pelanggaran, Deli Tv Terancam Tutup

Jum'at, 09 Mei 2008 18:49

Kapanlagi.com - PT Deli Media Televisi (Deli TV) terancam tutup dan tidak lagi bisa beroperasi jika Rekomendasi Kelayakan yang pernah diberikan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumatera Utara dibatalkan, menyusul sejumlah pelanggaran yang dilakukan stasiun TV lokal itu.

"Ijin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) yang kini sedang diproses di Depkominfo juga tidak bisa diterbitkan bila Rekomendasi Kelayakan itu dibatalkan," kata Wakil ketua KPID Sumut, Bambang Soedjiartono, di Medan, Jumat (9/5).

Menurut dia, hingga saat ini Deli TV baru memiliki Rekomendasi Kelayakan dari KPID Sumut dan belum mengantongi IPP dari pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat 1 Undang-undang No 32/2002 tentang Penyiaran.

Ia menyebutkan, ada sejumlah pelanggaran yang bisa membuat Rekomendasi Kelayakan Deli TV dibatalkan, salah satunya terkait kepemilikan modal.

"Kita mendapat informasi bahwa 100% saham PT Deli Media Televisi telah dijual atau dialihkan ke PT Sun TV Network Jakarta, padahal sesuai aturan badan hukum Indonesia modal sebuah PT (perseroan terbatas, red) minimal dimiliki dua pemegang saham," katanya.

Selain itu, PT Deli Media Televisi juga telah berkali-kali berubah domisili, berubah susunan pengurus dan/atau anggaran dasar dan semua itu tidak pernah dilaporkan ke KPID Sumut.

Deli TV dalam bersiaran juga tidak lagi mengacu kepada berkas studi kelayakan yang pernah disampaikan ke KPID Sumut pada saat dilakukan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP).
"Bisa kita lihat, kini Deli TV tidak punya logo dan tidak ada lagi siaran lokalnya. Yang ada hanya logo MNC dan siarannya pun dari Jakarta. Ini jelas menyalahi aturan tentang penyelenggaraan penyiaran." ujar Bambang.

Ia juga mengatakan, pihaknya telah mengundang manajemen Deli TV guna mendapatkan kejelasan soal pengalihan kepemilikan tersebut.

"Kita juga minta berkas-berkas pengalihan kepemilikan itu. Jika benar 100% saham Deli TV dialihkan kepada pihak lain, berarti benar telah terjadi pelanggaran selain juga melakukan pembohongan publik. Sanksinya, Rekomendasi Kelayakan yang pernah kita berikan batal demi hukum dan mereka tidak boleh siaran lagi," ujarnya. (kpl/rif)

KPID Sumut Minta TV Karo Hentikan Siaran

Rabu, 17 May 2006

KPID Sumut Minta TV Karo Hentikan Siaran

Subkomisi Mediasi dan Pemantauan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumut meminta pengelola dan penanggungjawab TV Karo untuk segera menghentikan kegiatan siarannya.

Hal tersebut dilakukan menyusul adanya temuan pemantauan ke lapangan, jika stasiun tv lokal tersebut telah beroperasi tanpa izin sekaligus melanggar Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
“Jika TV Karo tetap tidak mengindahkan larangan KPI, maka kasus ini akan disampaikan ke Polda Sumut,” tegas Ketua Subkomisi Mediasi dan Pemantauan Panogari Panggabean didampingi anggota KPID Sumut Bambang Soedjiartono. Dikatakan Panogari, sesuai pasal 33 ayat 1 Undang-Undang 32 tahun 2002, lembaga penyiaran yang melakukan kegiatan penyiaran harus sudah memiliki izin.
“Bagi yang melanggar ketentuan itu diancam sanksi pidana 2 tahun penjara atau denda Rp 5 miliar seperti yang sudah diatur dalam pasal 58 ayat b Undang-Undang penyiaran,” tegas Panogari.

Bambang Soedjiartono yang sehari-hari menjabat Wakil Ketua KPID Sumut menambahkan, berdasarkan laporan masyarakat, Subkomisi Mediasi dan Pemantauan KPID Sumut sudah turun ke Tanah Karo mengecek keberadaan dan izin operasional tv tersebut. “Ternyata benar, TV Karo sudah mengudara tanpa izin,” cetusnya.
Dengan kondisi ini, pihak KPID Sumut kemudian memanggil pihak pengelola dan penanggungjawab. “Tadinya, pihak pengelolanya tidak mau datang, namun setelah dipanggil berulang kali, barulah yang bersangkutan memenuhi panggilan KPID,” beber Bambang.

Dalam pertemuan itu, KPID Sumut memberikan penjelasan kepada pihak pengelola sekaligus meminta operasional penyiaran segera dihentikan. “Dengan berbagai dalih, pihak pengelola tidak bersedia menghentikan kegiatannya,” timpal Panogari.

Diungkapkan Panogari, secara resmi dirinya selaku Ketua Subkomisi Mediasi dan Pemantauan sudah melaporkan secara resmi perihal TV Karo tersebut dalam rapat pleno KPID Sumut pada April 2006 lalu. “Tapi sampai saat ini, tampaknya belum ada tanda-tanda soal TV Karo diplenokan,” tandasnya. Sampai pertengahan Mei ini, biaya operasional seluruh anggota KPID Sumut tidak kunjung ‘cair’. Karena itu para anggota KPID Sumut berharap Pemprovsu menaruh perhatian terhadap pencairan dana KPID Sumut agar kegiatan KPID Sumut dapat berjalan dengan lancar.(ana)

Bainfokom Pemprov Sumut

Mantan karyawan adukan penjualan Deli TV

Senin, 21/04/2008 17:00 WIB

oleh : Hambali Batubara

MEDAN: Puluhan mantan pekerja di televisi lokal mengadukan penjualan Deli TV selaku televisi lokal Sumut kepada Sun TV Network (MNC Groups) ke kantor Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumut siang ini.

Firdaus,salah seorang mantan pekerja mengatakan penjualan Deli TV selaku televisi lokal Sumut kepada TV jaringan nasional melanggar peraturan UU No 32 tahun 2002. Ijin Penyelenggara Penyiaran (IPP) tentang Kepemilikan televisi tidak bisa dialihkan.

Wakil Ketua KPID Sumut,Bambang Soedjiartono mengatakan pihak Deli TV telah melakukan pelanggaran ketentuan dan pembohongan. Penjualan ini merusak tatanan lokal yang hendak diciptakan dari hadirnya televisi lokal.

Deli TV juga melakukan pembohongan ketika dalam pertemuan dengan KPID Sumut beberapa waktu yang lalu.Ketika ditanya apakah sudah ada transaksi jual beli, Deli TV mengatakan dalam rencana.

Namun berdasarkan pengaduan mantan pekerja,telah dijual sejak Februari 2008 seharga Rp 9 Miliar. "Baru dibayar Rp 7 Miliar," ucap Firdaus.

Pihak Deli TV sampai saat ini belum berhasil dikonfirmasi karena pimpinan sedang berada di Jakarta. (dj)